Tuesday, March 7, 2017

KEJUJURAN SANG KOPI



Sipa yang tak tahu kopi?

Apakah anda mengenal kopi?

Apakah anda menyukai kopi?
 
Atau bahkan anda pecinta kopi?

Lahir dari batang pohon yang mempunyai cukup banyak cabang dan berdaun cukup lebar. Diawali dengan bunga berwarna putih dengan aroma yang khas. biji kopi bertumbuh besar hingga matang dan siap untuk dipetik.

Apakah ini yang dinamakan kopi?

Setelah proses pertumbuhannya yang amat panjang dan melalui berbagai pergantian cuaca hingga ia menjadi biji kopi matang yang lalu dipetik, dan ia kini adalah sang kopi dewasa.

 Apakah ini yang dinamakan kopi?

Setelah sang kopi kini mencapai tingkat akhir dari petumbuhannya. Matang sempurna, bentuk biji yang proporsional, dan warna yang khas. Tapi pertanyaannya apa arti sang kopi saat ini?

Sang kopi masih belum berarti apa-apa. Sang kopi tak bernilai dan bermakna apapun, dia tak lebih hanya sesosok biji yang yang masa tumbuh kembangnya telah usai. 

Sejak sang kopi dikandung oleh sang bunga, ia mendengar begitu banyak cerita tentang berbagai macam kopi yang ada di dunia, kopi yang melegenda dan memiliki banyak penggemar dan pecintanya. Mendengar cerita ini, sang kopi memiliki ekspektasi yang besar akan seperti apa dirinya kelak. Menjadi sang kopi yang dipuja dan digilai banyak orang diseluruh penjuru dunia.

Sang kopi pun lahir dari sang bunga putih yang mengandungnya, ia tumbuh perlahan, hingga mencapai tingkat optimalnya. Dan kini sang kopi mulai memandang dunia, dan dengan bangga ia siap menyapa dunia dan para penggemarnya seperti apa yang pernah ia dengar dulu.

Tapi sampai disini apa yang harus dilakukan sang kopi untuk dapat mencapai espektasi nya sejak saat ia masih dikandung oleh sang bunga?

Sang kopi berkata pada setiap manusia tentang dirinya “ hey.. aku lah sang biji kopi yang telah tumuh dewasa dengan baik, aku telah matang sempurna. Aku lah sang biji kopi sejati”....

Anehnya, manusiahanya hanya menolehna sesat, lalu meninggalkannya. Tak ada pujian, tak ada kata-kata istimewa..

Sang kopi terdiam, ia murung, ia terenguh sembari penuh tanya dalam benaknya, mengapa hingga kini tak ada yang memandangnya istimewa, padahal ia telah tumbuh dan matang sebagai biji kopi yang sempurna. 

Sang kopi pun kini murung, ia berkata pada dirinya “apa yang salah dengan diriku? Aku telah tumbuh dengan baik, aku telah matang sempurna, bentukku pun proporsional, tapi mengapa aku bahakan sangat jauh dari kata istimewa”,.. sang kopi hanya melihat manusia hanya berlalu-lalang dihadapannya tanpa ada yang memandangnya istimewa, padahal sang kopi beranggapan bahwa ia adalah sang biji kopi dewasa yang sempurna...

Dari manusia manuisa yang barlalu-lalang yang ia saksikan, ia banyak mendengar pembicaraan mengenai dirinya, ia pun selalu mendengarkan dengan seksama setiap pembicaraan tentang dirinya.

Sang kopi dewasa mendengar cerita bahwa untuk menjadi kopi sejati, ada serangkaian proses yang harus dijalaninya, mulai dari dijemur dibawah terik matahari untuk mengurangi kadar airnya, setelah itu harus disangrai dengan suhu yang sangat panas, jauh lebih panas dari teriknya matahari hari saat ia dijemur, dalam proses sangarai ini akan berakhir ketika ia berubah warna menji hitam. Dan... belum cukup sampai disini, ia harus ditumbuk untuk dihaluskan, jauh dari bentuk sempurnanya sang biji kopi saat ini.

Mendengar cerita ini, sang kopi terenyut tak percaya. Ia berpikir, bagaimana mungkin biji kopi yang hitam dan pahit karena gosong seperti itu digemari banyak orang, diistemewakan banyak orag?? Sedangkan dengan kedewasaan nya sebagai kopi saat ini pun tak mendapat perhatian besar.

Sang kopi lagi-lagi terdiam. ia kembali merenungi seperti apa sebenarnya proses pertumbuhannya dari sejak dikandung sang bunga putih hingga sampai saat ini ia menjadi sang kopi dewasa. Ia bertanya-tanya jangan jangan ada yang salah dalam proses pertumbuhannya. Tapi ia juga berpikir bahwa ia kini adalah sang biji kopi dewasa yang sempurna, jadi tak mungkin ada kesalahan, jika ada ia tak mungkin menjadi biji kopi dewasa yang sempuna seperti saat ini.

Waktu berlalu, sang kopi pun masih belum beranjak dari renugan nya. Sampai pada akhirnya, ia menyadari satu hal. Jika ia kini sebagai biji kopi dewasa yang sempurna, maka untuk sampai disini semuanya butuh proses, dan proses yang dijalaninya dari sejak dikandung sang bunga sangatlah panjang.

Sang kopi mulai menemukan buah dari renungannya. Ia kini sedikit mulai terlihat riang.. tapi kemudian ia berpikir kembali “lalu apa yang aku lakukan sekarang..??”

Sang kopi teringat akan cerita-cerita yang pernah didengarnya. Cerita tentang proses yang harus dijalaninya hingga ia berubah menjadi sang biji kopi yang gosong. 

.... “apa mungkin aku harus menjalani proses-proses itu? Bagaimana mungkin jika aku gosong orang-orang akan menyukaiku? Bukankah jika aku menjalani prose itu, lalu aku gosong, warnaku akan menjadi hitam, dan rasanya pasti pahit... bagaimana mingkin aku akan disukai banyak orang???

Tidak ada cerita lain yang didengarnya tentang dirinya selain serangakaian proses yang akan menjadikannya gosong. “apa hanya serangakain proses itu? Apakah tidak ada cara atau proses yang lain?? Tapi jika aku tak melakukan apapun, aku akan teap seperti ini, aku tak memiliki arti dan keistimewaan apapun. Lalu untuk apa semua pejuangan ku selama ini hingga aku dewasa kini??

Berangkat dari sekian banyak pertanyaan yang dimilikinya itu, dan bermodal perjuangannya hingga ia tumbuh menjadi sang biji kopi dewasa, ia tak mau berakhir sia-sia dan musnah begitu saja. Sang kopi harus melakukan sesuatu setidaknya untuk dirinya sendiri, untuk membuktikan dirinya bahwa ia adalah sang kopi.

Sang kopi dewasapun menjalani proses penjemuran. Proses yang begitu tak menyenagkan, ia haru dijemur dibawah teriknya mata hari berhari-hari.

Setelah itu, sang kopi dewasa yang telah kering dan berkadar air rendah, ia menjalani proses selanjutnya. Ia disangrai dalam wajan yang ditaruh diatas tungku yang dibawahnya kobaran api yang sangat panas, jauh lebih panas dari saat ia dijemur dibawah terik mata hari.

Kini sang kopi dewasa telah hilang. Ia berubah menjadi biji kopi yang hitam nan gosong. Ia melihat dirinya sendiri, ia berkata “lihatlah aku, bentuk biji kopi yang sempurna ku tlah hilang, kini aku tak lebih dari sekedar sebuah biji yang yang hitam karena gosong. Bahkan setelah ini aku masih harus ditumbuk hinga aku hancur dan menjadi serbukan yang berwarna hitam, hitam karena gosong, dan sesuatu yang gosong itu pasti pahit. Kini aku adalah serbuk kopi yang hitam dan pahit”...

Kini sang kopi telah melakukan sesuatu untuk dirinya. Serangakian proses yang tak menyenangkan telah dijalaninya hingga kini ia menjadi serbuk kopi yang hitam dan pahit.

Tak seperti saat ia masih utuh sebagai biji kopi dewa yang berbicara pada dunia dengan lantang, Sang kopi kini dengan suara lirih dan perlahan berkata pada dunia... “ wahai dunia,.. aku lah sang kopi,.. sang kopi yang gosong,... yang hitam,... yang hancur,... yang pahit,... aku telah selesai dengan prosesku, kini aku siap dengan apapun yang akan kau lakukan pada diriku”...

Air mendidih yang amat panas menyeduhya dalam cangkir.
Jadilah ia secangkir kopi yang panas, yang hitam, yang pahit, dan kini ia memiliki aroma yang amat sangat khas...

Dan kini jutaan manusia di seluruh dunia menunggu untuk dibawakan secangkir kopi yang panas, yang hitam, dan yang memiliki rasa dan aroma yang amat sangat khas itu.


Raffi Baddger, Maret 2017.

Sunday, December 18, 2016



AGRESI DAN DETERMINASI DARI AGRESI

Agresi ; tingkah laku aynag diarahkan kepada tujuan menyakiti mahkluk hidup lain yang ingin menghindari prlakuan semacam itu ( Baron, 2005 ).

Mengapa manusia melakuakn kekrasan kepada orang lain? Apa yang menyebabkannya menyerang, secara brutal, sesama manusai lain?

1.       PERSPEKTIF MENGENAI AGRESI

Terdapat banyak perspektif mengenai agresi, perspektif-perspektif ini berusaha menjelaskan menganai
agrsi dan bagaimana agresi itu terjadi pada individu. berikut beberapa perspektif menurut Baron 2005:

1.1.              Peran faktor biologis

Penjelasan yang paling tua dan kemungkinan dikenal mengenai agresi manusia adalah bahwa manusia “diprogram” sedemikian rupa untuk melakukan kekerasan oleh sifat alamiah mereka.  Teori-teori semacam ini menyatakan bahwa kekerasan manusia berasal dari kecenderungan bawaan ( yang diturunkan ) u tuk bersikap agtresi satu sama ain. Pendukung yang paling tekenal dari teori ini adalah Sigmund Freud, yang berpendapat bahwa agresi terutama timbul dari keinginan untuk mati (death wish/thanatos) yang kuat yang dimiliki oleh semua orang. menurut Freud, insting ini awalnya memilik tujuan self-destruction tetapi segera arahnya diubah keluar.

Pandangan sehubunga diungkapkan oleh Konrad Lorenz, ilmuan yang memenangkan nobel. Lorenz (1966, 1974) berpendapat bahwa agresi terutama muncul dari insting berkelahi (fighting instict) bawaan yang dimiliki oleh manusia dan spesies lainnya.

Beberapa alasan keberatan pada ide bahwa agresi manusia telah diprogram secara genetis adalah :
1)       Manusai bertingkah laku agresif kepada orang lain dnegan banyak cara, mulau dari mengabaikan orang lain atau menyebarkan rumor palsu mengenai orang tersebut sampai pada tinglkah laku brutal yang sering dilaporkan pada berita di televisi. Bagaimana bisa rentang perilaku yang besar tersebut ditentukan oleh faktor genetis?
2)      Frekuensi dari tingkah laku agresi sangat bervariasi pada masyarakat. Terjadi lima puluh kali lebih sering pada beberapa masyarakat dibanding masyarakat lainnya. Bagaimana perilaku aagresif ditentukan oleh faktor genetis jika terdapat perbedaan yang sangat besar tersebut?
Berdasarkan hal ini dan pertimbanan-pertimbangan lain, Psikolog sosial menyimpulkan secara umum bahwa faktor genetis dan biologis memerankan peran kecil, jika ada, dalam agresi manusia, meskipun faktor-faktor tersebut mungkin mempengaruhi agresi pada mahkluk lain.


1.2.             Teori dorongan

Teori dorongan berpendapat bahwa agresi muncul terutama dari suatu dorongan (drive) yang ditimbulkan oleh faktor-faktor eksternal untuk menyakiti orang lain.

Pendekatan ini direfleksikan pada berbagai teori dorongan (drive theories) atas agresi (misalnya, Berkowitz, 1989;Feshbach, 1984) teori-teori ini menemukakan bahwa kondisi-kondisi eksternal, terutama frustasi, membangkitkan motiv yang kuat untuk menyakiti orang lain. Dorongan agresi ini selanjutnya menimbulkan agresi terbuka.

Yang paling terkenal dari terori-teori  tersebut adalah hipotesis frustasi-agresi (frustration-agression hipothesis) (Dollard dkk, 1939). Menurut pandangan ini, frustasi mengakibatkan keterangsangan suatu dorongan yang tujuan utamanya adalah menyakiti beberapa orang atau objek, terutama yang dipersepsikan sebagai penyebab frustasi (Berkowitz, 1989).

1.3.             Teori modern atas agresi

Teori modern atas agresi tidak berfokus pada faktor tunggal sebagai penyebab utama agresi. Malah mengguankan kemajuan dalam banyak bidang Psikologi untuk mendapatkan pemahamantambahan mengenai faktor-faktor yang memainkan peran dalam kemunculan perilaku tersebut. Walaupun tidak ada teori tunggal yang meliputi semua faktor yang saat ini dipandang penting oleh Psikologi sosial, satu pendekatan model umum afektif agresi (general affective agression model) yang diajukan oleh Anderson  (Anderson dkk., 1996; Anderson 1997) menyediakan ilustrasi yang baik mengenai kedalaman dan kecanggihan dari pandangan-pandangan baru tersebut.

Menurut teroi ini ( dikenal dengan singkatan GAAM) agresi dipicu oleh banyak sekali variabel input, aspek-aspek dari situasi saat ini atau kecenderungan yang dibawa individu ketika menghadapi suatu situasi tertentu. Variabel yang termasuk dalam kategori pertama meliputi frustasi, bentuk serangan tertentu dari orang lain (misalnya,  penghinaan), pemaparan terhadap tingkah laku agresif orang lain (model agressif), munculnya tanda-tanda yang berhubungan dengan munculnya agresi ( misalnya, senapan atau senjata lainnya) dan hampir semua hal yang menyebabkan individu mengalami ketidaknyamanan, mulai dari suhu udara yang tinggi yang tidak nyaman sampai pada bor dokter gigi atau bahkan kuliabyang sangat membosankan.

Variabel dalam kategori kedua (perbedaan indidual) meliputi trait yang mendorong individu untuk melakukan agresi (misalnya, mudah sekali marah), sikap dan belief tertentu terhadap kekerasan (misalnya, mempercayai bahwa hal diterima dan layak), nilai mengenai kekerasan (misalnya, pandangan bahwa itu adalah hal yang baik, kemungkina hal itu menunjukkan kebanggan individu atau maskulinitas), dan keterampilan fisik yang terkain pada agresi (misalnya mengetahui bagaiman caranya berkelahi, mengetahui bagaimana menggunaka berbagi senjata).


2.      DETERMINAN AGRESI MANUSIA
2.1.             Teknik untuk mempelajari agresi manusia

Dalam pendekatan yang dirancang oleh Buss partisipan penelitian diberitahu bahwa mereka mengambil bagian, bersama dengan orang lain, dalam suatu studi dalam  pemberian hukuman pada pembelajaran. Satu dari dua orang berperan sebagai guru dan lainnya sebagai pelajar. Guru(selalu merupakan partisipan asli)mempresentasikan berbagai materi kepada pelajar yang sebenarnya merupakan asisten peneliti. Pelajar berusaha mempelajari materi-materi tersebut ,dan setiap kali ia membuat respon yang benar ,guru memberinya imbalan berupa suatu tanda yang mengindikasikan “benar”,namun setiap kali pelajar melakukan kesalahan guru memberikan kejutan listrik pada orang ini menggunakan alat “mesin agresi”. Guru dalam penelitian Buss diberikan pilihan bebas mengenai seberapa kuat kejutan listrik yang harus diberikan.

2.1.1.        Mesin agresi (agression machine)

Para psikolog sosial tertarik mempelajari agresi manusia segera menganggap alat Buss,yang kadang-kadang dikenal sebagai mesin agresi(aggression machine),sebagai sebuah alat penelitian baru yang berharga. Tehnik Buss dan prosedur yang berhubungan ,seperti alat yang dibuat Stuart Tylor (1967),segera digunakan dalam banyak penelitian yang dirancang untuk mengetahui banyak aspek dari agresi (lihat,misalnya,Baron & Richardson,1994). Tehnik tambahan untuk mengukur agresi dalam kondisi laboratorium yang aman telah diciptakan,tehnik yang dikenal sebagai Point Subtraction and Aggression  Paradigm (PSAP untuk singkatnya):partisipan memainkan suatu permainan dengan orang lain dimana masing-masing  dapat memutuskan untuk menekan tombol yang (1)memberi lawan uang,(2)mengambil uang milik lawan,atau (3)melindungi diri dari kemungkinan uang diambil oleh lawan. Prosedur ini menghilangkan kebutuhan untuk suatu kejutan listrik atau akibat fisik tidak menyenangkan lainnya,tetapi terlihat dapat menangkap esensi dari agresi:siksaan yang disengaja untuk menyakiti lawan(misalnya,Cherek dkk.,1997).

Beberapa bukti menunjukan bahwa prosedur Buss,PSAP,dan tehnik-tehnik yang terkait memang menyediakan pengukuran yang valid dan bermanfaat terhadap  agresi ,manusia. Pertama banyak penelitian menemukan bahwa orang dengan suatu riwayat  perilaku agresif yang nyata misalnya ,kriminal kekerasan memilih kejutan listrik yang lebih kuat atau mengambil uang dari lawan nya di PSAP secara lebih sering dari pada orang tanpa riwayatagresivitas seperti itu (misalnya,Cherek dkk.,1996;Gully & Dengerink,1983;Wolfe & Baron,1971). Bukti tambahan untuk mendukung validitas dari pengukuran laboratorium terhadap agresi oleh temuan-temuan,dalam banyak penelitian,bahwa sejumlah variabel  yang diketahui mempengaruhi agresi dalam kehidupan sehari-hari ternyata juga mempengaruhi agresi dalam penelitian laboratorium yang menggunakan prosedur rancangan  Buss dan lain-lain (misalnya,Taylor,1967).

Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa prosedur yang dikembangkan oleh Buss dan banyak psikologi sosial lainnya memang menyediakan setidaknya suatu indeks kasar dari konsep sentral  yang kita harap dapat di ukur dalam penelitian mengenai agresi:kesedian orang-orang untuk melakukan kekerasan-fisik atau nyang lainnya pada manusia lain. Kesimpulan yang paling masuk akal dapat merupakan sesuatu seperti :Harap gunakan tehnik-tehnik ini jika memang terlihat tepat,tetapi selalu melakukan dengan berhati-hati,jangan pernah mempercayai validitas eksternalnya begitu saja,dan kombinasikan tehnik-tehnik ini dengan observasi terhadap agresi dalam kehidupan sehari-hari kapanpun dimungkinkan.

2.2.            Determinan sosial dari agresi
2.2.1.       Frustasi
Sebagian besar dari kita , menghubungkan frustasi sebagai penyebab utama dari tindakan agresi. Frustasi sendiri dipahami sebagai perasaan ketika sesuatu atau seseorang menghalangi kita untuk mendapatkan apa yang diinginkn atau diharapkan dalam beberapa situasi.  Pemahaman seperti ini berasal dari hipotesis frustasi-agresi (Dollard dkk, 1939). Dalam bentuk aslinya, hipotesis ini membuat dua pernyataan penting : (1) frustasi selalu memunculkan bentuk tertentu dari agresi, dan (2) agresi selalu muncul dari frustasi. Singktnya teori ini memandang bahwa orang yang frustasi selalu terlibat dalam suatu tipe agresi dan semua tindakan agresi berasal dari frustasi.
Namun kenyataannya, bukti bukti yang ada menyatakan bahwa kedua bagian dari hipotesis frustasi-agresi memberikan penekanan terlalu benyak pada frustasi sebagai determinan dari agresi manusia. Temuan penelitian menunjukkan bahwa , ketika merasa frustasi, individu tidak selalu merespon dengan melakukan agresi. Sebaliknya, mereka memperlihatkan banyak reaksi yang berbeda, mulai dari kesedihan, keputusasaan, dan depresi di satu sisi, sampai pada usaha langsung untuk mengatasi sumber frustasi mereka di sisi yang lain. Agresi jelas bukanlah otomatis respon dari frustasi.
Kedua, sama jelasnya bahwa tidak semua agresi datang dari frustasi. Orang-orang melakukan agresi untuk banyak alasan yang berbeda dan juga sebagai respon dari banyak faktor yang berbeda. Sebagai contoh, petinju professional memukul lawannya karena mereka berharap dapat memenangkan hadiah yag berharga, bukan karena frustasi. Sama halnya, ketika perang, pilot angkatan udara melaporkan bahwa menerbangkan pesawat mereka adaah sumber kesenangan, dan saat mengebom target musuh, mereka merasa senang atau bahagia, bukan frustasi. Dalam hal ini dan banyak kasus lainnya, agresi berasal dari faktor-faktor selain frustasi. Kita akan mempertimbangkan banyak penyebab lain dari agresi di bawah ini.
Dengan melihat fakta-fakta tersebut, hanya sedikit psikolog sosial yang saat ini menerima ide bahwa frustasi adalah satu-satunya, atau bahkan penyebab yang terpenting, dari agresi.  Malah, kebanyakan percaya bahwa frustasi hanya satu dari banyak faktor yang secara potensial menyebabkan agresi. Bersama dengan ini, berkowitz (1989,1993) telah mengajukan versi yang direvisi dari hipotesis frustasi-agresi yang terlihat konsisten dengan sejumlah besar bukti mengenai dampak frustasi. Menurut pandangan ini, frustasi merupakan suatu pengalaman yang tidak menyenangkan, dan frustasi dapat menyebabkan agresi sebagian besar karena adanya fakta tersebut. Dengan kata lain, frustasi kadang-kadang menghasilkan agresi karena adanya hubungan mendasar antara afek negatif (perasaan tidak menyenangkan) dengan perilaku agresif.
Frustasi dapat berfungsi sebagai determinan kuat dari agresi dalam kondisi tertentu, terutama ketika faktor penyebabnya dipandang tidak legal atau tidak adil(misalnya, Folger & Baron, 1996). Misalnya, jika seorang individu mempercayai bahwa ia layak memperoleh kenaikan gaji yang besar dan kemudian menerima jumlah yang jauh lebih sedikit tanpa penjelasan mengapa ini terjadi, ia mungkin menyimpulkan bahwa ia telah diperlakukan secara sangat tidak adil—bahwa haknya yang sah telah diabaikan. Hasilnya ia mengalami kemarahan yang intens dan mencari cara untuk membalas dendam terhadap sumber yang dipersepsikan sebagai penyebab dari frustasi tersebut—bos atau perusahaannya. Sebagaimana akan kita lihat dalam bagian berikutnya, Reaksi ini dapat memainkan peran penting dalam agresi di tempat kerja dan dalam reaksi agresif dari beberapa karyawan yang kehilangan pekerjaan melalui penyusutan pegawai (misalnya, Catalano, Novaco, & McConnell, 1997; Greenberg & Alge, 1997).

2.2.2.      Provokasi langsung

Seringkali agresi adalah hasil provokasi fisik atau verbal dari orang lain. Ketika kita sedang menerima suatu bentuk agresi dari orang lain—kritik yang menurut kita tidak adil, ungkapan sarkatis, atau kekerasan fisik—kita jarang mengalah. Sebaliknya, kita cenderung  untuk membalas, memberikan agresi sebanyak yang kita telah terima—atau mungkin sedikit lebih, terutama jika kita merasa pasti bahwa orang lain tersebut bermaksud untuk menyakiti kita (Chermack, Berman, & Taylor, 1997; Ohbuchi & Kambara, 1985)

2.2.3.      Agresi yang dipindahkan
Pengaruh dari suatu provokasi dengan kadar tertentu tidak selalu sama; melainkan tergantung pada kejadian lain apa yang terjadi pada kata sebelumnya. Jika kita mengalami hari yang menyenangkan, provokasi yang ringan mungkin memunculkan agresi ringan atau bahkan tidak ada agresi sama sekali. Tetapi jika kita sedang mengalami hari yang buruk , dimana sebelumnya satu atau lebih orang telah menganggu kita, kita mungkina akan meledak dan melakukan agresi yang kuat-jauh lebih kuat daripada yang layak diterima oleh provokasi ringan. Psikolog sosial menyebut reaksi seperti ini sebagai contoh dari agresi dipindahkan yang dipicu suatu peristiwa pemicu ringan yang ditimbulkan oleh seseorang mengakibatkan orang tersebut menjadi target dari agresi dipindahkan yang kuat- agresi kuat yang datang sebagai kejutan pada orang tersebut.
Mengapa triggered displaced aggression terjadi ? satu kemungkinan adalah bahwa provokasi sebelumnya menyebabkan individu untuk merenung- untuk memikirkan mengenai perlakuan-perlakuan tidak layak yang mereka terima dari orang lain. Hal ini, kemudian meningkatkan sensitivitas mereka pada provokasi yang ringan sekalipun dan menyebabkan mereka untuk lepas kendali pada orang – orang yang menganggu mereka, bahkan dalam cara yang sepele. Namun, apapun mekanisme yang terlibat, triggered displaced aggression dapat memiliki konsekuensi serius, menyebabkan individu yang marah dalam satu konteks- di mana itu disebabkan oleh orang lain.

2.2.4.      Pemaparan terhadap kekerasan di media

Berapa banyak agresi atau kekerasan yang terkandung dalam masing-masing film ? Seberapa sering karakter dalam film film tersebut memukul, menembak atau setidaknya berusaha untuk menyakiti orang lain? Kecuali jika anda telah memilih dengan sangat hati-hati, anda mungkin menyadari bahwa banyak dari film yang anda lihat mengandung kekerasan dalam jumlah besar – lebih besar dari yang pernah anda lihat dalam kehidupan nyata.
Fakta ini memunculkan pertanyaan penting yang telah dipelajari selama berpuluh-puluh tahun oleh para psikolog sosial; Apakah pemaparan terhadap kekerasan di media (media violence) meningkatkan agresi diantara anak anak atau orang dewasa ? berates – ratus penelitian telah dilakukan untuk menguji kemungkinan ini, dan hasilnya terlihat jelas; pemaparan terhadap kekerasan di media mungkin memang merupakan salah satu factor yang berkontribusi pada tingginya tingkat kekerasan di Negara Negara dimana materi materi terssebut dilihat oleh sejumlah besar orang (misalnya, Anderson, 1997; Berkowitz, 1993;Paik & Comstock, 1994; Wood, Wong & Cachere,1991). Banyak bukti yang mendukung kesimpulan ini.

2.2.5.       Keterangsangan yang mengikat

Dalam berbagai kondisi, keterangsangan yang meningkat-apa pun sumbernya-dapat meningkatkan agresi, sebagai respon terhadap provokasi, frustasi, dan faktor-faktor lain. Bahkan, dalam berbagai eksperimen, keterangsangan yang berasal dari sumber yang bervariasi seperti partisipasi dalam permainan kompetitif  9Christy, Gelfan, & Hartmann, 1971), olahraga keras (Zillmann, 1979), dan bahkan tipe musik tertentu (Rogers & Ketcher, 1979) ditemukan dapat meningkatkan agresi. Mengapa hal ini terjadi? Sebuah penjelasan yang kuat ditawarkan oleh teori transfer eksitasi (excitation transfer theory). (Zillmann, 1983, 1988).
    Teori ini menyatakan bahwa karena keterangsangan fisiologis cenderung untuk hilang secara perlahan seiring dengan waktu, sebagian dari keterangsangan tersebut kemungkinan masih tetap ada sejalan dengan bergeraknya individu dari situasi ke situasi lain. Teori transfer eksitasi selanjutnya menyatakan bahwa dampak seperti ini paling mungkin terjadi ketika orang yang terlibat relatif tidak menyadari adanya keterangsangan emosi yang tersisa-suatu hal yang biasa, karena keterangsangan kecil sulit untuk disadari (Zillmann, 1994). Teori transfer eksitasi juga menyatakan bahwa dampak seperti itu cenderung muncul ketika orang yang terlibat menyadari adanya keterangsangan emosi tetapi menganggapnya berasal dari kejadian yang terjadi saat in ( Taylor dkk., 1991).
    Terdapat beberapa bukti yang mendukung pandangan bahwa keterangsangan seksual dapat mengurangi agresi terbuka. Dalam beberapa penelitian awal (misalnya, Baron, 1974, 1979; Ramirez, Bryant, & Zillmann, 1983), prosedur berikut ini dijalankan: Pertama-tama, partisipan diganggu oleh orang asing. Kemudian mereka menguji stimulus yang dapat menyebabkan keterangsangan seksual (misalnya, gambar telanjang yang menarik) atau netral (misalnya gambar pemandangan, seni abstrak). Terakhir, mereka diberi kesempatan untuk membalas orang yang telah memprovokasi mereka. Hasilnya mengindikasikan bahwa orang-orang yang diperlihatkan pada materi yang dapat menyebabkan keterangsangan seksual ringan menunjukkan tingkat agresi yang lebih rendah daripada mereka yang diperlihatkan pada stimulus netral.
    Namun demikian, kata ringan harus ditekankan. Dalam penelitian selanjutnya dimana partisipan diperlihatkan pada materi seksual yang lebih merangsang, tingkat keterangsangan yang lebih tinggi justru meningkatkan dan bukan mengurangi agresi (misalnya, Jaffe dkk., 1974; Zillmann, 1984). Penemuan-penemuan ini semuanya menunjukkan bahwa hubungan antara keterangsangan seksual dan agresi bersifat curvilinear.keterangan seksual ringan mengurangi agresi hingga tingkat yang lebih rendah daripada yang ditunjukkan oleh tidak adanya keterangsangan, sedangkan keterangsangan seksual yang lebih tinggi malah meningkatkan agresi di atas tingkat ketiadaan keterangsangan. Mengapa? Mungkin karena materi erotis yang ringan terutama akan memunculkan perasaan-perasaan positif yang menganggap agresi, sedangkan stimulus seksual yang lebih eksplisit terutama akan memunculkan perasaan-perasaan negatif yang dapat, melalui transfer eksitasi, meningkatkan agresi (Zillmann, 1984). Temuan dari beberapa penelitan konsisten dengan penalaran ini (misalnya, Ramirez, Bryant, & Zillmann, 1983), sehingga tampak bahwa penalaran tersebut menyediakan penjelasan yang berguna atas adanya hubungan curvilinear antara keterangsangan seksual dan agresi.
    Selain dari adanya hubungan afektif atau emosional di antara keterangsangan seksual dengan agresi, penelitian yang lebih baru menyatakan bahwa kemungkinan terdapat hubungan kognitif juga. Dua psikolog sosial, Mussweiler dan Forster (2000), mengungkapkan bahwa dampak seperti itu dapat terjadi dalam kaitannya dengan hubungan seks-agresi. Secara spesifik, ketika kita diperlihatkan pada stimulus yang berhubungan dengan seks (misalnya, kata-kata seperti “kulit” atau “tempat tidur”), kita dapat dipicu untuk berpikir mengenai agresi-atau bahkan untuk bertindak secara agresif. Lebih penting lagi, para peneliti ini juga menyatakan bahwa meskipun hubungan antara seks dan agresi dapat ditemukan baik dalam pikiran pria maupun  wanita, pengaruh dari hubungan tersebut berbeda pada dua jenis kelamin ini. Secara spesifik, karena pria lebih sering menjadi agresor dalam situasi seksual, pemaparan awal dengan stimulus seksual dapat memicu tidak hanya pikiran agresif, tetapi juga perilaku agresif. Sebaliknya, hal ini diduga tidak terjadi pada wanita.
    Untuk menguji penalaran ini, Mussweiler dan Forster(2000) melakukan sebuah enelitian dimana baik pria maupun wanita di perlihatkan pada kata – kata netral (misalnya,”jam”,”atap”) atau kata – kata yang berhubungan dengan seks (misalnya,”kulit”,”tempat tidur”) kemudian, pria dan wanita tersebut diberikan kesempatan uuntuk melemparkan panah baik pada sebuah foto wajah orang atau pada objek fisik (misalnya, sebuah vas). Peneliti memprediksikan bahwa ktika diperlihatkan pada kata-kata yang berhubungan dengan seks, dia akan melempar lebih banyak panah pada wajah orang, sedangkan hal ini tidak akan terjadi pada wanita. Tepat seperti inilah yang terjadi. Hasil dari sebuah penelitian lanjutan yang menggunakan prosedur yang sedikit bebrbeda mengindikasikan bahwa efek ini hanya terjadi jika targetnya adalah seorang wanita; pria yang dipicu oleh kata-kata yang berhubungan dengan seks lebih agresif daripada pria yang dipicu oleh kata-kata netral, tetapi hanya jika objeknya wanita. Sementara wanita tidak menunjukan perbedaan dalam hal ini.
    Hasil ini menunjukan bahwa hubungan antara seks dan agresi mungkin lebih kompleks dari pada yang sebelumnya diyakini. Keterangsangan seksual tidak hanya mempengaruhi agresi melalui timbulnya afek (misalnya, mood atau perasaan ) positif dan negatif; sebagai tambahan, pemaparan terhadap stimulus yang berhubungan dengan seks dapat mengaktifkan skema atau kerangka berpikir lainnya yang kemudian, dapat mempengaruhi munculnya perilaku nyata yang di arahkan pada target spesifik. Kita telah mendiskusikan variabel-variabel dalam tiga kategori pertama, sekarang kita menuju pada penyebab pribadi dari agresi-trait dan karakteristik individu yang dapat mempengaruhi kapan, dimana, dan terhadap siapa mereka memili untuk melakukan agresi.

2.3.            Penyebab pribadi agresi
2.3.1.       Pola perilaku tipe A tipe B

Apakah anda mengenal seseorang yang memiliki karakter ,sangat kompetitif, selalu terburu-buru, mudah tersinggung dan agresif. Jika iya, orang ini menunjukkan karakteristik dari apa yang di sebut dalam istilah psikologi sebagai pola perilaku tipe A (type A behavior pattern) (Glass, 1997; strube,1989). Individu-individu yang tidak sangat kompetitif, yang tidak akan bertanding melawan waktu , dan yang tidak mudah kehilangan kendali; orang-orang yang dideskripsikan seperti ini menunjukkan pola perilaku pola B (type behavior pattern).

Melihat karakteristik yang di sebutkan di atas, tampak sangat masuk akal untuk menganggap bahwa tipe A cenderung lebih agresif dari pada tipe B dalam banyak situasi.

Temuan-temuan tambahan mengindikasikan bahwa tipe A adalah individu yang benar hostile: mereka tidak melakukan agresi pada orang lain hanya karena hal ini merupakan alat yang bermanfaat untuk mencapai tujuan, seperti memenangkan kontes atletik atau meneruskan karir. Tipe A tidak lebih cenderung  untuk tidak terlibat ( instrumental aggresion) dari pada tipe B –agresi yang di lakukan terutama untuk mendapatkan tujuan lain di samping menyakitkan korban, tujuan seperti mengontrol  sumber-sumber daya yang berharga atau pujian dari orang lain karena telah bersikap tegas.

2.3.2.      Bias atribusional hostile

Bayangkan anda berada di sebuah supermarket, pelanggang lain menabrak  anda dengan keretanya dan kemudian berteriak dengan marah kepada anda untuk menyuruh anda minggir. Dalam kejadian ini, jelas bahwa tindakannya dilakukan degan maksud tertentu: tindakan tersebut muncul dari maksud hostile (hostile intentions). Jika anda mengatribusikan kejadian ia menabrak anda dengan keretanya sebagai maksud hostile, anda akan tetap merasa marah; jika anda untuk memutuskan untuk mempercayainya, anda mungkin akan berlalu begitu saja.

Fakta bahwa atribusi memainkan peran penting dalam reaksi kita terhadap perilaku orang lain –dan terutama terhadap provokasi nyata-adalah titik mula bagi karakteristik pribadi penting lain yang mempengaruhi agresi-yaitu bias atribusional hostile (hostile atributional bias)(misalnya, dogde dkk, 1986). Istilah mengacu pada tendensi untuk mempersepsikan maksud atau motif hostile dalam tindakan orang lain ketika tindakan ini di rasakan ambigu. Hasil dari banyak penelitian menegaskan dampak potensial dari faktor ini (misalnya, dogde & coie, 1987), jadi tampak bahwa bias atribusional hostile merupakan salah satu faktor pribadi (perbedaan induvidual) yang penting terjadinya agresi.

2.3.3.      Narsisme

Penelitian oleh Bushman dan Baumiester (1988) menyatakan bahwa orang dengan narsisme  (narcissim) yang tinggi (orang yang setuju dengan pernyataan seperti “Jika saya memerintah dunia, maka dunia akan menjadi tempat yang jauh lebih baik” dan “Saya lebih mampu daripada yang lain”) bereaksi dengan tingkat agresi yang sangat tinggi terhadapa pemnghinaan dari orang lain.

Jika taktik pembangunan self-esteem tersebut diterapkan terlalu jauh dan menghasilkan anak yang memandang dirinya sendiri sangat tinggi (yaitu, narsistik), hasilnyha kemungkinan adalah potensi kekerasan yang meningkat.

2.3.4.      Perbedaan gender

Cerita-cerita rakyat mengungkapkan bhawa pria lebih agresif, dan temuan penelitian menyatakan bahwa, dalam hal ini, observasi informal benar: Jika ditanyakan apakah mereka terlibata dalam beberapa dari sejumlah besar perilaku agresif, pria melaporkan lebih banyak melakukan perilaku agresif daripada wanita (Harris, 1994, 1996). Di  satu sisi, pria secara umum lebih cenderung daripada wanita untuk melakukan perilaku agresif dan menjadi target dari perilaku tersebut (Bogard, 1990; Harris, 1992, 1994; Walker, Richardson, & Green, 2000). Lebih lanjut perbedaan ini tampak bertahan seiring berjalannya waktu, muncul bahkan di era 70-an dan 80-an (Walker, Richardson, & Green, 2000).
Pria secara signifikan lebih cenderung daripada wanita untuk melakukan agresi terhadap orang lain ketika orang lain tersebut tidak memprovokasi mereka dalam cara apa pun (Betancourt & Miller, 1996).

Temuan penelitian mengindikasikan bahwa pria lebih cenderung daripada wanita untuk terlibat dalam berbagai bentuk agresi langsung-tindakan yang ditujukan secara langsung oleh agresor (misalnya, kekerasan fisik, mendorong, melempar sesuatu pada orang lain,berteriak, mengejek; Bjorkqvist,Osterman, & Hjelt-Back, 1994).

Pria dan wanita juga sangat berbeda dalam satu jenis lain dari agresi-yaitu, pemuasan seksual. Pria lebihcenderung untuk terlibat dalam perilaku seperti ini daripada wanita (Musweiller & Forster, 2000). Secara spesifik, Hogben dan kawan-kawan (2001) menunjukkan bahwa makin kuat kepercayaan pria pad apandangan ini, makin tinggikecenderungan mereka untuk terlibat dalam pemaksaan seksual; sebaliknya hal ini tidak terjadi pada wanita.

Kesimpulannya, perbedaan gender yang terkait dengan agresi memang muncul dan bias menjadi substansial dalam beberapa konteks. Tapi secara keseluruhan, sifat dasar dari perbedaan semacam itu jauh lebih kompleks daripada yang bisa dibayangkan oelh akal sehat.

2.4.            FAKTOR SITUASIONAL

Selain dipengaruhi secara kuat oleh faktpr-faktor sosial dan karakteristik pribadi, agresi juga dopengaruhi oleh faktor-faktor yang terkait dengan situasi atau konteks dimana agresi itu terjadi.

2.4.1.       Meningkatnya suhu

Banyak penelitian yang telah dilakukan dan menemukan bahwa meningkatnya suhu memiliki dampak pada agresivitas (efek musim panas yang panjang). Di Amerika Serkat, kekerasan fisik meningkat; seiring dengan meningkatnya suhu udara, tetapi hanya sampai titik tertentu; di atas titik ini, selagi suhu udara tetap meningkat, kekerasan fisik menrun. Temuan ini menyatakan bahwa hubungan anatara suhu panas dan agresi bersifat curva linier (Rotto & Cohn, 2000; Baron, 2005)

2.4.2.      Alkoholisme
Apa yang diungkapkan oleh penelitian sistematis mengenai hubungan yang mungkin ada antara alkohol dan agresi?
Penelitian cenderung untuk mengonfirmasikan adanya hubungan antara alkohol-agresi. Dalam beberapa eksperimen, partisipan-partisipan yang megonsumsi alkohol dosis tinggi --yang cukup membuat orang mabuk– ditemukan bertindak lebih agresif, dan merespon provokasi secara lebih kuat daripada mereka yang tidak mengonsumdi alkohol.
(Baron, 2005).


POIN-POIN KUNCI

´  Untuk menpelajari agresi, patar psikolog sosial sering menggunakan prosedur dimana individu diarahkan untuk percaya bahwa mereka dapat menyakiti orang lain dalam berbagai cara.
´  Bertentangan dengan hipotesis frustasi-agresi, tidak smeua agresi berasal dari frustasi, dan frustasi tidak sellu menimbulkan agresi. Frustasi bisa menjadi pemicu yang kuat dari agrei, tapi hal iru hanya terjadi dalam beberapa kondisi.
´  Sebaliknya, provokasi dari orang lain adalah pemicu yang kuat dari agresi. Kita jarang sekali mengalah; malah kita berusaha menyamakan tingkat agresi dari orang lain.
´  Satu pengecualian dari kedudukan penyamaan seperti itu muncul dalam triggred dispalce agression. Dalam situasi seperti ini, oramg yang sebelumnya diprovokasi secara kuat tetapi tetapi tidak melakukan agresi akan memberi respon yang sangat kiat pada agresi ringan, hal itu berarti menindahkan pada terget yang tidak benar-benar bersalah.
´  Pemaparan terhadap kekerasan di media ditemukan dapat meningkatkan agresi diantara penoton. Hal ini terjadi kerena beberapa faktor, misasnya, pemaparan awal terhadap pemikiran agresif dan melemahnya pertahanan untuk menolak meakukan agresi
´  Keterangsangan yang meningkat dapat meningkatkan agresi jika keterangsangan tersebut masih tetap ada setelah melalui situasi dimana hal itu terjadi dan salah dinterpretasikan sebagai rasa marah.
´  Orang-orang yang menunjukkan pola perilaku tipeA lebih mudah marah dan agresif daripada orang dengan pola perilaku tipe B.
´  Individu yang memiliki bias atribusional hostile yang tinggi mengatribusikan tindakan orang lain pada aksud hostile. Hasinya, mereka menjadi lebih agresif daripada orang yang memiliki kadar rendah dalam karekteristik ini.
´  Orang-orang dengan narsisme yang tinggi memegang pandangan berlebihan akan nilai dirinya sediri. Mereka bereaksi dengan tingkat agresi yang tinggi terhadap umpan balik dari orang lain yang mengancam ogo mereka yang besar.
´  Pria umumnya lebih agresif daripada wanita, tetapi perbedaan ini berkurang dalam konteks adanya provokasi yang kuat. Pria lebih cenderung untuk menggunakan bemtuk langsung dari agresi, tetapi wanita lebih cenderung untuk menggunakan bentuk tidk langsung dari agresi. Pria lebih cenderung daripada wanita untuk terlibat dalam pemaksaan seksual.
´  Suhu udara yang tinggi cenderung akan meningkatkan agresi, tetapi hanya sampai titik tertentu. Diatas tingkat tertentu agresi menururn selagi suhu tetap meningkat.
´  Konsumsi alkohol dapat meningkatkan agresi – terutama, tampaknya, pada individu yang dalam keadaan normal menunjukkan tingkat agresi yang rendah.


reffenensi :

semua materi dari makalah ini diambil dari sebuah buku :
" PSIKOLOGI SOSIAL "  ( ROBERT A. BARON )
jilid 2, edisi kepuluh.
BAB 11 " AGRESI : Sifat dasar, Penyebab, dan Pengendaliannya, hal~135-172. 

penerbit "ERLANGGA"
ISBN : 979-741-646-1