AGRESI DAN DETERMINASI DARI AGRESI
Agresi ; tingkah laku aynag
diarahkan kepada tujuan menyakiti mahkluk hidup lain yang ingin menghindari
prlakuan semacam itu ( Baron, 2005 ).
Mengapa
manusia melakuakn kekrasan kepada orang lain? Apa yang menyebabkannya
menyerang, secara brutal, sesama manusai lain?
1. PERSPEKTIF
MENGENAI AGRESI
Terdapat banyak perspektif mengenai agresi, perspektif-perspektif ini berusaha menjelaskan menganai
agrsi dan bagaimana agresi itu terjadi pada individu. berikut beberapa perspektif menurut Baron 2005:
1.1.
Peran
faktor biologis
Penjelasan
yang paling tua dan kemungkinan dikenal mengenai agresi manusia adalah bahwa
manusia “diprogram” sedemikian rupa untuk melakukan kekerasan oleh sifat
alamiah mereka. Teori-teori semacam ini
menyatakan bahwa kekerasan manusia berasal dari kecenderungan bawaan ( yang
diturunkan ) u tuk bersikap agtresi satu sama ain. Pendukung yang paling
tekenal dari teori ini adalah Sigmund Freud, yang berpendapat bahwa agresi
terutama timbul dari keinginan untuk mati
(death wish/thanatos) yang kuat yang dimiliki oleh semua orang. menurut
Freud, insting ini awalnya memilik tujuan self-destruction
tetapi segera arahnya diubah keluar.
Pandangan
sehubunga diungkapkan oleh Konrad Lorenz, ilmuan yang memenangkan nobel. Lorenz
(1966, 1974) berpendapat bahwa agresi terutama muncul dari insting berkelahi (fighting instict) bawaan yang dimiliki oleh
manusia dan spesies lainnya.
Beberapa
alasan keberatan pada ide bahwa agresi manusia telah diprogram secara genetis
adalah :
1) Manusai
bertingkah laku agresif kepada orang lain dnegan banyak cara, mulau dari
mengabaikan orang lain atau menyebarkan rumor palsu mengenai orang tersebut
sampai pada tinglkah laku brutal yang sering dilaporkan pada berita di
televisi. Bagaimana bisa rentang perilaku yang besar tersebut ditentukan oleh
faktor genetis?
2) Frekuensi
dari tingkah laku agresi sangat bervariasi pada masyarakat. Terjadi lima puluh
kali lebih sering pada beberapa masyarakat dibanding masyarakat lainnya.
Bagaimana perilaku aagresif ditentukan oleh faktor genetis jika terdapat perbedaan
yang sangat besar tersebut?
Berdasarkan
hal ini dan pertimbanan-pertimbangan lain, Psikolog sosial menyimpulkan secara
umum bahwa faktor genetis dan biologis memerankan peran kecil, jika ada, dalam
agresi manusia, meskipun faktor-faktor tersebut mungkin mempengaruhi agresi
pada mahkluk lain.
1.2.
Teori
dorongan
Teori
dorongan berpendapat bahwa agresi muncul terutama dari suatu dorongan (drive) yang ditimbulkan oleh
faktor-faktor eksternal untuk menyakiti orang lain.
Pendekatan
ini direfleksikan pada berbagai teori
dorongan (drive theories) atas
agresi (misalnya, Berkowitz, 1989;Feshbach, 1984) teori-teori ini menemukakan
bahwa kondisi-kondisi eksternal, terutama frustasi, membangkitkan motiv yang
kuat untuk menyakiti orang lain. Dorongan agresi ini selanjutnya menimbulkan
agresi terbuka.
Yang
paling terkenal dari terori-teori
tersebut adalah hipotesis
frustasi-agresi (frustration-agression
hipothesis) (Dollard dkk, 1939). Menurut pandangan ini, frustasi
mengakibatkan keterangsangan suatu dorongan yang tujuan utamanya adalah
menyakiti beberapa orang atau objek, terutama yang dipersepsikan sebagai
penyebab frustasi (Berkowitz, 1989).
1.3.
Teori
modern atas agresi
Teori
modern atas agresi tidak berfokus pada faktor tunggal sebagai penyebab utama
agresi. Malah mengguankan kemajuan dalam banyak bidang Psikologi untuk
mendapatkan pemahamantambahan mengenai faktor-faktor yang memainkan peran dalam
kemunculan perilaku tersebut. Walaupun tidak ada teori tunggal yang meliputi
semua faktor yang saat ini dipandang penting oleh Psikologi sosial, satu
pendekatan model umum afektif agresi (general affective agression model) yang
diajukan oleh Anderson (Anderson dkk.,
1996; Anderson 1997) menyediakan ilustrasi yang baik mengenai kedalaman dan
kecanggihan dari pandangan-pandangan baru tersebut.
Menurut teroi ini ( dikenal dengan
singkatan GAAM) agresi dipicu oleh
banyak sekali variabel input, aspek-aspek
dari situasi saat ini atau kecenderungan yang dibawa individu ketika menghadapi
suatu situasi tertentu. Variabel yang termasuk dalam kategori pertama meliputi
frustasi, bentuk serangan tertentu dari orang lain (misalnya, penghinaan), pemaparan terhadap tingkah laku
agresif orang lain (model agressif),
munculnya tanda-tanda yang berhubungan dengan munculnya agresi ( misalnya,
senapan atau senjata lainnya) dan hampir semua hal yang menyebabkan individu
mengalami ketidaknyamanan, mulai dari suhu udara yang tinggi yang tidak nyaman
sampai pada bor dokter gigi atau bahkan kuliabyang sangat membosankan.
Variabel dalam kategori kedua (perbedaan indidual) meliputi trait yang mendorong individu untuk
melakukan agresi (misalnya, mudah sekali marah), sikap dan belief tertentu terhadap kekerasan (misalnya, mempercayai bahwa hal
diterima dan layak), nilai mengenai kekerasan (misalnya, pandangan bahwa itu
adalah hal yang baik, kemungkina hal itu menunjukkan kebanggan individu atau
maskulinitas), dan keterampilan fisik yang terkain pada agresi (misalnya
mengetahui bagaiman caranya berkelahi, mengetahui bagaimana menggunaka berbagi
senjata).
2. DETERMINAN
AGRESI MANUSIA
2.1.
Teknik
untuk mempelajari agresi manusia
Dalam pendekatan yang dirancang oleh Buss partisipan
penelitian diberitahu bahwa mereka mengambil bagian, bersama dengan orang lain,
dalam suatu studi dalam pemberian
hukuman pada pembelajaran. Satu dari dua orang berperan sebagai guru dan
lainnya sebagai pelajar. Guru(selalu merupakan partisipan asli)mempresentasikan
berbagai materi kepada pelajar yang sebenarnya merupakan asisten peneliti.
Pelajar berusaha mempelajari materi-materi tersebut ,dan setiap kali ia membuat
respon yang benar ,guru memberinya imbalan berupa suatu tanda yang
mengindikasikan “benar”,namun setiap kali pelajar melakukan kesalahan guru
memberikan kejutan listrik pada orang ini menggunakan alat “mesin agresi”. Guru dalam penelitian Buss diberikan pilihan
bebas mengenai seberapa kuat kejutan listrik yang harus diberikan.
2.1.1.
Mesin agresi (agression machine)
Para psikolog sosial tertarik mempelajari agresi manusia
segera menganggap alat Buss,yang kadang-kadang dikenal sebagai mesin
agresi(aggression machine),sebagai sebuah alat penelitian baru yang
berharga. Tehnik Buss dan prosedur yang berhubungan ,seperti alat yang dibuat Stuart
Tylor (1967),segera digunakan dalam banyak penelitian yang dirancang untuk
mengetahui banyak aspek dari agresi (lihat,misalnya,Baron &
Richardson,1994). Tehnik tambahan untuk mengukur agresi dalam kondisi
laboratorium yang aman telah diciptakan,tehnik yang dikenal sebagai Point
Subtraction and Aggression Paradigm
(PSAP untuk singkatnya):partisipan memainkan suatu permainan dengan orang lain
dimana masing-masing dapat memutuskan
untuk menekan tombol yang (1)memberi lawan uang,(2)mengambil uang milik
lawan,atau (3)melindungi diri dari kemungkinan uang diambil oleh lawan.
Prosedur ini menghilangkan kebutuhan untuk suatu kejutan listrik atau akibat
fisik tidak menyenangkan lainnya,tetapi terlihat dapat menangkap esensi dari
agresi:siksaan yang disengaja untuk menyakiti lawan(misalnya,Cherek dkk.,1997).
Beberapa
bukti menunjukan bahwa prosedur Buss,PSAP,dan tehnik-tehnik yang terkait memang
menyediakan pengukuran yang valid dan bermanfaat terhadap agresi ,manusia. Pertama banyak penelitian
menemukan bahwa orang dengan suatu riwayat
perilaku agresif yang nyata misalnya ,kriminal kekerasan memilih kejutan
listrik yang lebih kuat atau mengambil uang dari lawan nya di PSAP secara lebih
sering dari pada orang tanpa riwayatagresivitas seperti itu (misalnya,Cherek
dkk.,1996;Gully & Dengerink,1983;Wolfe & Baron,1971). Bukti tambahan
untuk mendukung validitas dari pengukuran laboratorium terhadap agresi oleh
temuan-temuan,dalam banyak penelitian,bahwa sejumlah variabel yang diketahui mempengaruhi agresi dalam kehidupan
sehari-hari ternyata juga mempengaruhi agresi dalam penelitian laboratorium
yang menggunakan prosedur rancangan Buss
dan lain-lain (misalnya,Taylor,1967).
Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa prosedur yang
dikembangkan oleh Buss dan banyak psikologi sosial lainnya memang menyediakan
setidaknya suatu indeks kasar dari konsep sentral yang kita harap dapat di ukur dalam
penelitian mengenai agresi:kesedian orang-orang untuk melakukan kekerasan-fisik
atau nyang lainnya pada manusia lain. Kesimpulan yang paling masuk akal dapat
merupakan sesuatu seperti :Harap gunakan tehnik-tehnik ini jika memang terlihat
tepat,tetapi selalu melakukan dengan berhati-hati,jangan pernah mempercayai
validitas eksternalnya begitu saja,dan kombinasikan tehnik-tehnik ini dengan
observasi terhadap agresi dalam kehidupan sehari-hari kapanpun dimungkinkan.
2.2.
Determinan
sosial dari agresi
2.2.1. Frustasi
Sebagian
besar dari kita , menghubungkan frustasi sebagai penyebab utama dari tindakan
agresi. Frustasi sendiri dipahami sebagai perasaan ketika sesuatu atau
seseorang menghalangi kita untuk mendapatkan apa yang diinginkn atau diharapkan
dalam beberapa situasi. Pemahaman
seperti ini berasal dari hipotesis frustasi-agresi (Dollard dkk, 1939).
Dalam bentuk aslinya, hipotesis ini membuat dua pernyataan penting : (1)
frustasi selalu memunculkan bentuk tertentu dari agresi, dan (2) agresi selalu
muncul dari frustasi. Singktnya teori ini memandang bahwa orang yang frustasi
selalu terlibat dalam suatu tipe agresi dan semua tindakan agresi berasal dari
frustasi.
Namun
kenyataannya, bukti bukti yang ada menyatakan bahwa kedua bagian dari hipotesis
frustasi-agresi memberikan penekanan terlalu benyak pada frustasi sebagai
determinan dari agresi manusia. Temuan penelitian menunjukkan bahwa , ketika
merasa frustasi, individu tidak selalu merespon dengan melakukan agresi.
Sebaliknya, mereka memperlihatkan banyak reaksi yang berbeda, mulai dari
kesedihan, keputusasaan, dan depresi di satu sisi, sampai pada usaha langsung
untuk mengatasi sumber frustasi mereka di sisi yang lain. Agresi jelas bukanlah
otomatis respon dari frustasi.
Kedua,
sama jelasnya bahwa tidak semua agresi datang dari frustasi. Orang-orang
melakukan agresi untuk banyak alasan yang berbeda dan juga sebagai respon dari
banyak faktor yang berbeda. Sebagai contoh, petinju professional memukul
lawannya karena mereka berharap dapat memenangkan hadiah yag berharga, bukan
karena frustasi. Sama halnya, ketika perang, pilot angkatan udara melaporkan
bahwa menerbangkan pesawat mereka adaah sumber kesenangan, dan saat mengebom
target musuh, mereka merasa senang atau bahagia, bukan frustasi. Dalam hal ini
dan banyak kasus lainnya, agresi berasal dari faktor-faktor selain frustasi. Kita
akan mempertimbangkan banyak penyebab lain dari agresi di bawah ini.
Dengan
melihat fakta-fakta tersebut, hanya sedikit psikolog sosial yang saat ini
menerima ide bahwa frustasi adalah satu-satunya, atau bahkan penyebab yang
terpenting, dari agresi. Malah,
kebanyakan percaya bahwa frustasi hanya satu dari banyak faktor yang secara
potensial menyebabkan agresi. Bersama dengan ini, berkowitz (1989,1993) telah
mengajukan versi yang direvisi dari hipotesis frustasi-agresi yang terlihat
konsisten dengan sejumlah besar bukti mengenai dampak frustasi. Menurut
pandangan ini, frustasi merupakan suatu pengalaman yang tidak menyenangkan, dan
frustasi dapat menyebabkan agresi sebagian besar karena adanya fakta tersebut.
Dengan kata lain, frustasi kadang-kadang menghasilkan agresi karena adanya
hubungan mendasar antara afek negatif (perasaan tidak menyenangkan) dengan
perilaku agresif.
Frustasi
dapat berfungsi sebagai determinan kuat dari agresi dalam kondisi tertentu,
terutama ketika faktor penyebabnya dipandang tidak legal atau tidak
adil(misalnya, Folger & Baron, 1996). Misalnya, jika seorang individu
mempercayai bahwa ia layak memperoleh kenaikan gaji yang besar dan kemudian
menerima jumlah yang jauh lebih sedikit tanpa penjelasan mengapa ini terjadi,
ia mungkin menyimpulkan bahwa ia telah diperlakukan secara sangat tidak
adil—bahwa haknya yang sah telah diabaikan. Hasilnya ia mengalami kemarahan
yang intens dan mencari cara untuk membalas dendam terhadap sumber yang
dipersepsikan sebagai penyebab dari frustasi tersebut—bos atau perusahaannya.
Sebagaimana akan kita lihat dalam bagian berikutnya, Reaksi ini dapat memainkan
peran penting dalam agresi di tempat kerja dan dalam reaksi agresif dari
beberapa karyawan yang kehilangan pekerjaan melalui penyusutan pegawai (misalnya,
Catalano, Novaco, & McConnell, 1997; Greenberg & Alge, 1997).
2.2.2. Provokasi
langsung
Seringkali
agresi adalah hasil provokasi fisik atau verbal dari orang lain. Ketika kita
sedang menerima suatu bentuk agresi dari orang lain—kritik yang menurut kita tidak
adil, ungkapan sarkatis, atau kekerasan fisik—kita jarang mengalah. Sebaliknya,
kita cenderung untuk membalas,
memberikan agresi sebanyak yang kita telah terima—atau mungkin sedikit lebih,
terutama jika kita merasa pasti bahwa orang lain tersebut bermaksud untuk
menyakiti kita (Chermack, Berman, & Taylor, 1997; Ohbuchi & Kambara,
1985)
2.2.3. Agresi
yang dipindahkan
Pengaruh dari suatu provokasi dengan
kadar tertentu tidak selalu sama; melainkan tergantung pada kejadian lain apa
yang terjadi pada kata sebelumnya. Jika kita mengalami hari yang menyenangkan,
provokasi yang ringan mungkin memunculkan agresi ringan atau bahkan tidak ada
agresi sama sekali. Tetapi jika kita sedang mengalami hari yang buruk , dimana
sebelumnya satu atau lebih orang telah menganggu kita, kita mungkina akan
meledak dan melakukan agresi yang kuat-jauh lebih kuat daripada yang layak
diterima oleh provokasi ringan. Psikolog sosial menyebut reaksi seperti ini
sebagai contoh dari agresi dipindahkan yang dipicu suatu peristiwa pemicu ringan
yang ditimbulkan oleh seseorang mengakibatkan orang tersebut menjadi target
dari agresi dipindahkan yang kuat- agresi kuat yang datang sebagai kejutan pada
orang tersebut.
Mengapa triggered displaced aggression
terjadi ? satu kemungkinan adalah bahwa provokasi sebelumnya menyebabkan
individu untuk merenung- untuk memikirkan mengenai perlakuan-perlakuan tidak
layak yang mereka terima dari orang lain. Hal ini, kemudian meningkatkan
sensitivitas mereka pada provokasi yang ringan sekalipun dan menyebabkan mereka
untuk lepas kendali pada orang – orang yang menganggu mereka, bahkan dalam cara
yang sepele. Namun, apapun mekanisme yang terlibat, triggered displaced
aggression dapat memiliki konsekuensi serius, menyebabkan individu yang marah
dalam satu konteks- di mana itu disebabkan oleh orang lain.
2.2.4. Pemaparan
terhadap kekerasan di media
Berapa banyak agresi atau kekerasan
yang terkandung dalam masing-masing film ? Seberapa sering karakter dalam film
film tersebut memukul, menembak atau setidaknya berusaha untuk menyakiti orang
lain? Kecuali jika anda telah memilih dengan sangat hati-hati, anda mungkin
menyadari bahwa banyak dari film yang anda lihat mengandung kekerasan dalam
jumlah besar – lebih besar dari yang pernah anda lihat dalam kehidupan nyata.
Fakta ini memunculkan pertanyaan
penting yang telah dipelajari selama berpuluh-puluh tahun oleh para psikolog
sosial; Apakah pemaparan terhadap kekerasan di media (media violence)
meningkatkan agresi diantara anak anak atau orang dewasa ? berates – ratus
penelitian telah dilakukan untuk menguji kemungkinan ini, dan hasilnya terlihat
jelas; pemaparan terhadap kekerasan di media mungkin memang merupakan salah
satu factor yang berkontribusi pada tingginya tingkat kekerasan di Negara
Negara dimana materi materi terssebut dilihat oleh sejumlah besar orang
(misalnya, Anderson, 1997; Berkowitz, 1993;Paik & Comstock, 1994; Wood,
Wong & Cachere,1991). Banyak bukti yang mendukung kesimpulan ini.
2.2.5. Keterangsangan
yang mengikat
Dalam berbagai kondisi, keterangsangan
yang meningkat-apa pun sumbernya-dapat meningkatkan agresi, sebagai respon
terhadap provokasi, frustasi, dan faktor-faktor lain. Bahkan, dalam berbagai
eksperimen, keterangsangan yang berasal dari sumber yang bervariasi seperti
partisipasi dalam permainan kompetitif 9Christy,
Gelfan, & Hartmann, 1971), olahraga keras (Zillmann, 1979), dan bahkan tipe
musik tertentu (Rogers & Ketcher, 1979) ditemukan dapat meningkatkan
agresi. Mengapa hal ini terjadi? Sebuah penjelasan yang kuat ditawarkan oleh teori transfer eksitasi (excitation
transfer theory). (Zillmann, 1983, 1988).
Teori ini
menyatakan bahwa karena keterangsangan fisiologis cenderung untuk hilang secara
perlahan seiring dengan waktu, sebagian dari keterangsangan tersebut
kemungkinan masih tetap ada sejalan dengan bergeraknya individu dari situasi ke
situasi lain. Teori transfer eksitasi selanjutnya menyatakan bahwa dampak
seperti ini paling mungkin terjadi ketika orang yang terlibat relatif tidak
menyadari adanya keterangsangan emosi yang tersisa-suatu hal yang biasa, karena
keterangsangan kecil sulit untuk disadari (Zillmann, 1994). Teori transfer
eksitasi juga menyatakan bahwa dampak seperti itu cenderung muncul ketika orang
yang terlibat menyadari adanya keterangsangan emosi tetapi menganggapnya
berasal dari kejadian yang terjadi saat in ( Taylor dkk., 1991).
Terdapat beberapa
bukti yang mendukung pandangan bahwa keterangsangan seksual dapat mengurangi
agresi terbuka. Dalam beberapa penelitian awal (misalnya, Baron, 1974, 1979;
Ramirez, Bryant, & Zillmann, 1983), prosedur berikut ini dijalankan:
Pertama-tama, partisipan diganggu oleh orang asing. Kemudian mereka menguji
stimulus yang dapat menyebabkan keterangsangan seksual (misalnya, gambar
telanjang yang menarik) atau netral (misalnya gambar pemandangan, seni
abstrak). Terakhir, mereka diberi kesempatan untuk membalas orang yang telah
memprovokasi mereka. Hasilnya mengindikasikan bahwa orang-orang yang
diperlihatkan pada materi yang dapat menyebabkan keterangsangan seksual ringan
menunjukkan tingkat agresi yang lebih rendah daripada mereka yang diperlihatkan
pada stimulus netral.
Namun demikian,
kata ringan harus ditekankan. Dalam
penelitian selanjutnya dimana partisipan diperlihatkan pada materi seksual yang
lebih merangsang, tingkat keterangsangan yang lebih tinggi justru meningkatkan dan bukan mengurangi agresi
(misalnya, Jaffe dkk., 1974; Zillmann, 1984). Penemuan-penemuan ini semuanya
menunjukkan bahwa hubungan antara keterangsangan seksual dan agresi bersifat curvilinear.keterangan seksual ringan
mengurangi agresi hingga tingkat yang lebih rendah daripada yang ditunjukkan
oleh tidak adanya keterangsangan, sedangkan keterangsangan seksual yang lebih
tinggi malah meningkatkan agresi di atas tingkat ketiadaan keterangsangan.
Mengapa? Mungkin karena materi erotis yang ringan terutama akan memunculkan
perasaan-perasaan positif yang menganggap agresi, sedangkan stimulus seksual
yang lebih eksplisit terutama akan memunculkan perasaan-perasaan negatif yang
dapat, melalui transfer eksitasi, meningkatkan agresi (Zillmann, 1984). Temuan
dari beberapa penelitan konsisten dengan penalaran ini (misalnya, Ramirez,
Bryant, & Zillmann, 1983), sehingga tampak bahwa penalaran tersebut
menyediakan penjelasan yang berguna atas adanya hubungan curvilinear antara keterangsangan seksual dan agresi.
Selain dari adanya
hubungan afektif atau emosional di antara keterangsangan seksual dengan agresi,
penelitian yang lebih baru menyatakan bahwa kemungkinan terdapat hubungan
kognitif juga. Dua psikolog sosial, Mussweiler dan Forster (2000),
mengungkapkan bahwa dampak seperti itu dapat terjadi dalam kaitannya dengan
hubungan seks-agresi. Secara spesifik, ketika kita diperlihatkan pada stimulus
yang berhubungan dengan seks (misalnya, kata-kata seperti “kulit” atau “tempat
tidur”), kita dapat dipicu untuk berpikir mengenai agresi-atau bahkan untuk
bertindak secara agresif. Lebih penting lagi, para peneliti ini juga menyatakan
bahwa meskipun hubungan antara seks dan agresi dapat ditemukan baik dalam
pikiran pria maupun wanita, pengaruh
dari hubungan tersebut berbeda pada dua jenis kelamin ini. Secara spesifik,
karena pria lebih sering menjadi agresor dalam situasi seksual, pemaparan awal
dengan stimulus seksual dapat memicu tidak hanya pikiran agresif, tetapi juga
perilaku agresif. Sebaliknya, hal ini diduga tidak terjadi pada wanita.
Untuk menguji
penalaran ini, Mussweiler dan Forster(2000) melakukan sebuah enelitian dimana
baik pria maupun wanita di perlihatkan pada kata – kata netral
(misalnya,”jam”,”atap”) atau kata – kata yang berhubungan dengan seks
(misalnya,”kulit”,”tempat tidur”) kemudian, pria dan wanita tersebut diberikan
kesempatan uuntuk melemparkan panah baik pada sebuah foto wajah orang atau pada
objek fisik (misalnya, sebuah vas). Peneliti memprediksikan bahwa ktika
diperlihatkan pada kata-kata yang berhubungan dengan seks, dia akan melempar
lebih banyak panah pada wajah orang, sedangkan hal ini tidak akan terjadi pada
wanita. Tepat seperti inilah yang terjadi. Hasil dari sebuah penelitian
lanjutan yang menggunakan prosedur yang sedikit bebrbeda mengindikasikan bahwa
efek ini hanya terjadi jika targetnya adalah seorang wanita; pria yang dipicu
oleh kata-kata yang berhubungan dengan seks lebih agresif daripada pria yang
dipicu oleh kata-kata netral, tetapi hanya jika objeknya wanita. Sementara
wanita tidak menunjukan perbedaan dalam hal ini.
Hasil ini
menunjukan bahwa hubungan antara seks dan agresi mungkin lebih kompleks dari
pada yang sebelumnya diyakini. Keterangsangan seksual tidak hanya mempengaruhi
agresi melalui timbulnya afek (misalnya, mood atau perasaan ) positif dan
negatif; sebagai tambahan, pemaparan terhadap stimulus yang berhubungan dengan
seks dapat mengaktifkan skema atau kerangka berpikir lainnya yang kemudian,
dapat mempengaruhi munculnya perilaku nyata yang di arahkan pada target
spesifik. Kita telah mendiskusikan variabel-variabel dalam tiga kategori
pertama, sekarang kita menuju pada penyebab pribadi dari agresi-trait dan
karakteristik individu yang dapat mempengaruhi kapan, dimana, dan terhadap
siapa mereka memili untuk melakukan agresi.
2.3.
Penyebab
pribadi agresi
2.3.1. Pola
perilaku tipe A tipe B
Apakah
anda mengenal seseorang yang memiliki karakter ,sangat kompetitif, selalu
terburu-buru, mudah tersinggung dan agresif. Jika iya, orang ini menunjukkan
karakteristik dari apa yang di sebut dalam istilah psikologi sebagai pola
perilaku tipe A (type A behavior pattern) (Glass, 1997; strube,1989).
Individu-individu yang tidak sangat kompetitif, yang tidak akan bertanding
melawan waktu , dan yang tidak mudah kehilangan kendali; orang-orang yang
dideskripsikan seperti ini menunjukkan pola perilaku pola B (type behavior
pattern).
Melihat
karakteristik yang di sebutkan di atas, tampak sangat masuk akal untuk
menganggap bahwa tipe A cenderung lebih agresif dari pada tipe B dalam banyak
situasi.
Temuan-temuan
tambahan mengindikasikan bahwa tipe A adalah individu yang benar hostile:
mereka tidak melakukan agresi pada orang lain hanya karena hal ini merupakan
alat yang bermanfaat untuk mencapai tujuan, seperti memenangkan kontes atletik
atau meneruskan karir. Tipe A tidak lebih cenderung untuk tidak terlibat ( instrumental
aggresion) dari pada tipe B –agresi yang di lakukan terutama untuk mendapatkan
tujuan lain di samping menyakitkan korban, tujuan seperti mengontrol sumber-sumber daya yang berharga atau pujian
dari orang lain karena telah bersikap tegas.
2.3.2. Bias
atribusional hostile
Bayangkan
anda berada di sebuah supermarket, pelanggang lain menabrak anda dengan keretanya dan kemudian berteriak
dengan marah kepada anda untuk menyuruh anda minggir. Dalam kejadian ini, jelas
bahwa tindakannya dilakukan degan maksud tertentu: tindakan tersebut muncul
dari maksud hostile (hostile intentions). Jika anda mengatribusikan kejadian ia
menabrak anda dengan keretanya sebagai maksud hostile, anda akan tetap merasa
marah; jika anda untuk memutuskan untuk mempercayainya, anda mungkin akan
berlalu begitu saja.
Fakta
bahwa atribusi memainkan peran penting dalam reaksi kita terhadap perilaku
orang lain –dan terutama terhadap provokasi nyata-adalah titik mula bagi
karakteristik pribadi penting lain yang mempengaruhi agresi-yaitu bias
atribusional hostile (hostile atributional bias)(misalnya, dogde dkk, 1986).
Istilah mengacu pada tendensi untuk mempersepsikan maksud atau motif hostile
dalam tindakan orang lain ketika tindakan ini di rasakan ambigu. Hasil dari
banyak penelitian menegaskan dampak potensial dari faktor ini (misalnya, dogde
& coie, 1987), jadi tampak bahwa bias atribusional hostile merupakan salah
satu faktor pribadi (perbedaan induvidual) yang penting terjadinya agresi.
2.3.3. Narsisme
Penelitian oleh Bushman dan Baumiester (1988)
menyatakan bahwa orang dengan narsisme
(narcissim) yang tinggi (orang yang setuju dengan pernyataan seperti
“Jika saya memerintah dunia, maka dunia akan menjadi tempat yang jauh lebih
baik” dan “Saya lebih mampu daripada yang lain”) bereaksi dengan tingkat agresi
yang sangat tinggi terhadapa pemnghinaan dari orang lain.
Jika taktik pembangunan self-esteem tersebut
diterapkan terlalu jauh dan menghasilkan anak yang memandang dirinya sendiri
sangat tinggi (yaitu, narsistik), hasilnyha kemungkinan adalah potensi
kekerasan yang meningkat.
2.3.4. Perbedaan
gender
Cerita-cerita rakyat mengungkapkan bhawa pria lebih
agresif, dan temuan penelitian menyatakan bahwa, dalam hal ini, observasi
informal benar: Jika ditanyakan apakah mereka terlibata dalam beberapa dari
sejumlah besar perilaku agresif, pria melaporkan lebih banyak melakukan
perilaku agresif daripada wanita (Harris, 1994, 1996). Di satu sisi, pria secara umum lebih cenderung
daripada wanita untuk melakukan perilaku agresif dan menjadi target dari
perilaku tersebut (Bogard, 1990; Harris, 1992, 1994; Walker, Richardson, &
Green, 2000). Lebih lanjut perbedaan ini tampak bertahan seiring berjalannya
waktu, muncul bahkan di era 70-an dan 80-an (Walker, Richardson, & Green,
2000).
Pria secara signifikan lebih cenderung daripada wanita
untuk melakukan agresi terhadap orang lain ketika orang lain tersebut tidak
memprovokasi mereka dalam cara apa pun (Betancourt & Miller, 1996).
Temuan penelitian mengindikasikan bahwa pria lebih
cenderung daripada wanita untuk terlibat dalam berbagai bentuk agresi
langsung-tindakan yang ditujukan secara langsung oleh agresor (misalnya,
kekerasan fisik, mendorong, melempar sesuatu pada orang lain,berteriak,
mengejek; Bjorkqvist,Osterman, & Hjelt-Back, 1994).
Pria dan wanita juga sangat berbeda dalam satu jenis
lain dari agresi-yaitu, pemuasan seksual. Pria lebihcenderung untuk terlibat
dalam perilaku seperti ini daripada wanita (Musweiller & Forster, 2000).
Secara spesifik, Hogben dan kawan-kawan (2001) menunjukkan bahwa makin kuat
kepercayaan pria pad apandangan ini, makin tinggikecenderungan mereka untuk
terlibat dalam pemaksaan seksual; sebaliknya hal ini tidak terjadi pada wanita.
Kesimpulannya, perbedaan gender yang terkait dengan
agresi memang muncul dan bias menjadi substansial dalam beberapa konteks. Tapi
secara keseluruhan, sifat dasar dari perbedaan semacam itu jauh lebih kompleks
daripada yang bisa dibayangkan oelh akal sehat.
2.4.
FAKTOR SITUASIONAL
Selain
dipengaruhi secara kuat oleh faktpr-faktor sosial dan karakteristik pribadi,
agresi juga dopengaruhi oleh faktor-faktor yang terkait dengan situasi atau
konteks dimana agresi itu terjadi.
2.4.1. Meningkatnya
suhu
Banyak
penelitian yang telah dilakukan dan menemukan bahwa meningkatnya suhu memiliki
dampak pada agresivitas (efek musim panas yang panjang). Di Amerika Serkat,
kekerasan fisik meningkat; seiring dengan meningkatnya suhu udara, tetapi hanya
sampai titik tertentu; di atas titik ini, selagi suhu udara tetap meningkat,
kekerasan fisik menrun. Temuan ini menyatakan bahwa hubungan anatara suhu panas
dan agresi bersifat curva linier (Rotto & Cohn, 2000; Baron, 2005)
2.4.2. Alkoholisme
Apa yang
diungkapkan oleh penelitian sistematis mengenai hubungan yang mungkin ada
antara alkohol dan agresi?
Penelitian
cenderung untuk mengonfirmasikan adanya hubungan antara alkohol-agresi. Dalam
beberapa eksperimen, partisipan-partisipan yang megonsumsi alkohol dosis tinggi
--yang cukup membuat orang mabuk– ditemukan bertindak lebih agresif, dan
merespon provokasi secara lebih kuat daripada mereka yang tidak mengonsumdi
alkohol.
(Baron,
2005).
POIN-POIN KUNCI
´ Untuk
menpelajari agresi, patar psikolog sosial sering menggunakan prosedur dimana
individu diarahkan untuk percaya bahwa mereka dapat menyakiti orang lain dalam
berbagai cara.
´ Bertentangan
dengan hipotesis frustasi-agresi, tidak smeua agresi berasal dari frustasi, dan
frustasi tidak sellu menimbulkan agresi. Frustasi bisa menjadi pemicu yang kuat
dari agrei, tapi hal iru hanya terjadi dalam beberapa kondisi.
´ Sebaliknya,
provokasi dari orang lain adalah pemicu yang kuat dari agresi. Kita jarang
sekali mengalah; malah kita berusaha menyamakan tingkat agresi dari orang lain.
´ Satu
pengecualian dari kedudukan penyamaan seperti itu muncul dalam triggred
dispalce agression. Dalam situasi seperti ini, oramg yang sebelumnya
diprovokasi secara kuat tetapi tetapi tidak melakukan agresi akan memberi
respon yang sangat kiat pada agresi ringan, hal itu berarti menindahkan pada
terget yang tidak benar-benar bersalah.
´ Pemaparan
terhadap kekerasan di media ditemukan dapat meningkatkan agresi diantara
penoton. Hal ini terjadi kerena beberapa faktor, misasnya, pemaparan awal
terhadap pemikiran agresif dan melemahnya pertahanan untuk menolak meakukan
agresi
´ Keterangsangan
yang meningkat dapat meningkatkan agresi jika keterangsangan tersebut masih
tetap ada setelah melalui situasi dimana hal itu terjadi dan salah
dinterpretasikan sebagai rasa marah.
´ Orang-orang
yang menunjukkan pola perilaku tipeA lebih mudah marah dan agresif daripada
orang dengan pola perilaku tipe B.
´ Individu
yang memiliki bias atribusional hostile yang tinggi mengatribusikan tindakan
orang lain pada aksud hostile. Hasinya, mereka menjadi lebih agresif daripada
orang yang memiliki kadar rendah dalam karekteristik ini.
´ Orang-orang
dengan narsisme yang tinggi memegang pandangan berlebihan akan nilai dirinya
sediri. Mereka bereaksi dengan tingkat agresi yang tinggi terhadap umpan balik
dari orang lain yang mengancam ogo mereka yang besar.
´ Pria
umumnya lebih agresif daripada wanita, tetapi perbedaan ini berkurang dalam
konteks adanya provokasi yang kuat. Pria lebih cenderung untuk menggunakan
bemtuk langsung dari agresi, tetapi wanita lebih cenderung untuk menggunakan
bentuk tidk langsung dari agresi. Pria lebih cenderung daripada wanita untuk
terlibat dalam pemaksaan seksual.
´ Suhu udara
yang tinggi cenderung akan meningkatkan agresi, tetapi hanya sampai titik
tertentu. Diatas tingkat tertentu agresi menururn selagi suhu tetap meningkat.
´ Konsumsi
alkohol dapat meningkatkan agresi – terutama, tampaknya, pada individu yang
dalam keadaan normal menunjukkan tingkat agresi yang rendah.
reffenensi :
semua materi dari makalah ini diambil dari sebuah buku :
" PSIKOLOGI SOSIAL " ( ROBERT A. BARON )
jilid 2, edisi kepuluh.
BAB 11 " AGRESI : Sifat dasar, Penyebab, dan Pengendaliannya, hal~135-172.
penerbit "ERLANGGA"
ISBN : 979-741-646-1
No comments:
Post a Comment